Gunung Ungaran, adalah salah satu dari sekian banyak gunung yang berada di Jawa Tengah. Gunung ini terletak di Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah, tepatnya dari jalan Yogyakarta - Semarang ambil kiri arah Bandungan. Akses untuk menuju ke Basecamp disana cukup mudah jika menggunakan kendaraan pribadi. Maksudnya disini jalannya tidak terlalu ekstrim dibandingkan naik ke Gunung lainnya. Namun, untuk kendaraan umum, sepertinya sedikit jarang, atau saya kurang melihat situasi sekitar saat itu. Jalur untuk menuju puncak di Gunung Ungaran bermacam - macam. Dari Pos Mawar(Basecamp) sendiri sudah ada 3 jalur. Gunung ini bisa dibilang kerdil karena dibanding gunung - gunung lainnya, gunung ini adalah yang paling pendek yaitu 2050mdpl. Padahal gunung lain disekitarnya lebih tinggi seperti Gunung Perahu (2500+), Gunung Merapi (2800++), dan Gunung - gunung lain diatas 3000 mdpl.
Lanjut ke Catatan Perjalanan,
Dalam perjalanan kali ini saya tidak sempat mengambil foto perjalanan dikarenakan sedang tidak membawa peralatan untuk foto, jadi terpaksa deh minta tolong teman untuk mengambil beberapa gambar.
Sabtu, 20 September 2014
Perjalanan kali ini saya ditemani teman - teman sejurusan, Teknik Perkapalan di salah satu PTN di Semarang, Universitas Diponegoro. Dikarenakan masih tingkat satu, kami harus menyelesaikan mata kuliah olahraga yaitu renang, dan tepatnya mata kuliah ini mengambil jadwal yang tidak lazim untuk anak kuliahan yaitu hari sabtu pukul 08.00WIB. Renang biasanya selesai sekitaran pukul 11.00WIB. Sepulang dari renang, kami 16 orang langsung menuju ke tempat persewaan outdoor untuk mengambil semua barang - barang yang sudah dipesan sebelumnya. Disuguhi teh dan snack, dipadukan dengan perut yang keroncongan setelah berenang menahan kami di persewaan untuk beberapa waktu, akhirnya kami pulang ke kost masing - masing dan berencana berkumpul di kost salah satu teman kami yaitu Gewa pada tepat pukul 14.00WIB. Kost milik Gewa adalah kost yang paling mantap karena kapasitas ruangnya yang dapat menampung kami semua ber 16.
Adzan Ashar pun berkumandang, beberapa dari kami yang beragama islam pun menyelesaikan kewajiban kami, tepat pukul 16.00WIB kami berangkat dari kost Gewa untuk briefing dan mengisi kendaraan di POM Bensin Undip. Dalam perjalanan kali ini, kebetulan kami menggunakan motor semuanya dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh,
dan persiapan yang kurang matang mungkin.
(selfie di POM Bensin Undip)
Setelah ber-selfie-ria dan seluruh kendaraan siap, kami pun melanjutkan menuju basecamp Pos Mawar di kaki Gunung Ungaran. Sekitaran setelah adzan maghrib kami sampai di Pos Mawar. Dari sekian banyak pos yang menjadi basecamp, kami memilih pos mawar karena pos tersebut adalah yang paling sering digunakan oleh para pendaki. Perjalanan kami dari Tembalang-Bandungan-Pos Mawar terkesan lama karena di setiap penarikan tiket masuk kami turun dari motor dan berfoto - foto. Jujur, menurut saya ini memang gunung yang ditujukan untuk wisata, karena tiket masuk untuk motor yang kita lewati saja ada 2, dan dua pos tersebut hanya terpisah jarak sekitar 20m. Itu belum termasuk retribusi mendaki dari basecamp. Pada pos pertama kita dikenakan biaya Rp2.000 per motor, dan pos kedua sudah sepaket kami ber 16 sebanyak Rp20.000.
(pos retribusi kedua)
Sesampainya di basecamp Pos Mawar yang terlihat hanya parkiran motor dan penjual bakso tusuk dengan motornya, kami pun segera melakukan ibadah sholat bagi yang menjalankan dan istirahat sejenak sambil menikmati bakso kuah tusuk tersebut. Setelah urusan retribusi pendakian selesai kami pun segera berjalan, beberapa orang bilang beberapa langkah kedepan ada warung makan, kami pun berencana untuk mengisi perut sebentar. Ternyata pandangan kami tentang basecamp ini yang tadinya tentang basecamp yang hanya menyediakan parkiran berubah, beberapa langkah kedepan kami langsung melihat deretan tenda para campers yang memang berniat bermalam dibawah atau hanya ngecamp saja. Dibelakang tenda - tenda tersebut terlihat beberapa pondok yang menjual santapan yang pastinya menyita perhatian kami. Kami pun segera bergegas untuk mengisi perut agar perjalanan dapat dimulai tidak terlalu malam. Kebetulan anak dari ibu penjaga warung tersebut adalah perempuan sebaya kami, kondisi sosial di kampus yang mayoritas adalah lelaki memaksa kami untuk menetap sebentar di warung itu sambil bercanda ria dengan anak dari pemilik warung makan yang menjual RAMES, SOTO, INDOMIE, dan makanan lainnya itu. Sadar akan cepatnya waktu yang berjalan, akhirnya kami bergegas berdiri meninggalkan warung itu untuk briefing dan berdoa semoga selamat sampai tujuan. Tepat pukul 20.30WIB kami mulai mendaki.
Awalnya perjalanan kami terasa membosankan, jalur - jalur kebun yang kita lewati tidak memberikan kesan apa - apa apalagi dalam perjalanan malam. Namun sekitar beberapa menit dari kita mulai berjalan, kami menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir tepat disamping jalan setapak yang kami lewati, inilah pertama kali kami istirahat. Tanpa diduga sebelumnya, trek setelah sungai kecil ini ternyata cukup curam, setidaknya tidak selandai sebelum - sebelumnya. Namun ternyata trek landai masih menemani setelah beberapa langkah trek curam tersebut kami lewati. Beberapa ratus meter kedepan, tampak keramaian orang - orang sedang istirahat. Ternyata di tempat tersebut ada bak untuk menyimpan air dan beberapa pendaki sedang me refill air mereka untuk perjalanan kedepan. Uniknya, di belakang bak tersebut ada sebuah pondok kecil yang disampingnya ada 2 pintu yang sepertinya awalnya digunakan untuk kamar mandi, dan di sebelahnya ada sebuah kolam mirip sekali dengan kolam renang, namun airnya sudah hijau pekat.
(ref: libregraphics.asia)
Setelah istirahat sejenak dan mengisi air, kami pun melanjutkan perjalanan, ternyata jika dilihat dengan seksama beberapa meter setelah bak air tersebut adalah rumah warga. Perasaan bingung pastinya muncul setelah melihat rumah - rumah tersebut. Ternyata jauh kedepan ada pertigaan yang jika kita lurus kita akan sampai di sudut lain lereng gunung. Satu - dua jam kami mendaki, sedikit demi sedikit trek mulai berat seperti pendakian pada umunya, entah kami yang sudah lelah atau memang treknya yang cukup berat. Beberapa kali kami istirahat sambil menikmati terangnya sinar rembulan yang pada waktu itu masih penuh dan suara gemresak angin gunung yang membunyikan pepohonan. Saya pun menyempatkan untuk bertanya dengan pendaki lain seberapa jauh lagi letak puncak. Jawaban yang saya dapat adalah jawaban klasik yaitu "sebentar lagi mas, ini sudah setengah perjalanan". Sekitar satu setengah jam dari puncak, ini dia trek yang saya sebut jalan iblis diatas. Trek inilah yang mengalahkan trek - trek dari gunung lain yang pernah saya daki. Tantangan dalam trek ini adalah kecuramannya, ditambah dengan semak dan pepohonan yang malang - melintang, ditambah lagi durasinya yang cukup lama, tidak seperti jalan menuju puncak pada gunung dibawah 2500mdpl pada umumnya. Jika dilihat, kecuraman trek ini seperti trek pada gunung lawu, namun bedanya di gunung lawu kita menemukan apa yang dinamakan tangga batu. Atau mungkin seperti perjalanan dari pos 2 menuju puncak merbabu jika kita melewati jalur Wekas. Trek inilah yang cukup menyita tenaga dan semangat kami. Beberapa dari kami hampir gugur karena patahnya semangat pada trek ini. Namun, sekitar pukul 12.00WIB suasana puncak mulai terasa. Hembusan angin yang langsung menyentuh tubuh mulai terasa. Namun, disini kami direpotkan kembali dengan fenomena alam yang biasa disebut "kabut".
Minggu, 21 Oktober 2014
Tepat pukul 00.00WIB kami sampai di puncak. Perasaan bingung, gelisah, dan panik langsung menghampiri kami semua. Ternyata di puncak sudah terpasang tenda - tenda dan tempat yang kosong hanya tanah miring berbatu dan jalan setapak. Ditemani dinginnya angin kencang yang menusuk kulit, dengan tergesa - gesa kami keluarkan 2 tenda doom kami dan segera memasangnya. Yap, satu tenda telah berhasil terpasang, beberapa dari kami langsung masuk dan menghangatkan diri. Namun, masalah sebenarnya ada di tenda kedua. Tenda kapasitas 10 orang ini belum pernah kami pasang sebelumnya. Yah namanya tenda sewaan, mana sempat kami mencobanya terlebih dahulu. Akhirnya dengan insting alamiah ingin segera menghangatkan diri dan pengalaman seadanya kami coba pasang bagian tenda satu persatu. Walaupun akhirnya terpasang dengan bentuk seadanya, kami sudah bersyukur bisa melindungi diri dari jahatnya angin puncak. Masalah kedua pun dialami para penghuni tenda ini. Perut yang kosong tak bisa membiarkan kami tidur pulas. Sementara makanan di tenda satu sudah jadi, bahkan sudah habis dan penghuninya sudah tidur semua, kami pun rela membuat api unggun ditemani dengan jahatnya angin puncak. Kompor gas dihidupkan, nesting dipasang, air dituangkan sampai penuh, berikut mie rebus kami kumpulkan dan jadikan satu dalam mendidihnya air dalam nesting tadi. Cukup asik survival di tempat yang seharusnya tidak survival ini. "Mangan ra mangan sing penting kumpul". Akhirnya satu per satu dari kami menyruput mie rebus tadi dipadukan dengan hangatnya minuman yang tidak jelas asalnya (entah energen, entah jahe, entah susu, yang penting anget). Dinginnya angin puncak pun memaksa kami untuk mendekatkan badan lebih dekat dengan api yang kami nyalakan dengan solar tadi. Tak peduli muka lengket karena minyak, muka bau karena solar, yang penting anget deh. Akhirnya sekitar pukul 02.00WIB kami menjelajah ke dunia mimpi.
Paginya, suara ramai bak pasar tumpah terdengar dari dalam tenda. Alarm manusia dari tenda sebelah juga sudah berkumandang. Ternyata matahari sudah akan menunjukkan batang hidungnya. Yah dengan mata beruang dan iler yang belum sempat jatuh kami pun bangun untuk menyelesaikan tanggungjawab kami melihat sunrise.
(menjelang sunrise)
(detik - detik sunrise)
Setelah puas berfoto ria dan menikmati indahnya sunrise, akhirnya kami pun membongkar tenda kami dan berniat untuk segera turun. Sampah - sampah hasil survival kami pun kami bungkus untuk dibuang jikala nanti kami bertemu tempat sampah di bawah. Yang terakhir, jelas berfoto fullteam dahulu sebelum turun, dilanjutkan briefing turun, langsung tancap gas gaya parkur. Perjalanan turun kali ini akan ditemani tebalnya debu dari tanah dikarenakan teriknya matahari yang semakin membuat tanah disini kering. Konsekuensinya kami harus menutup minimal hidung dan mulut kami dengan apapun yang kami bawa.
(Tim Pendakian Ungaran September 2014, Naval Architecture 2014)
KAPAL KUAT!! KAPAL HEBAT!! KAPAL JAYA!!!
Pengalaman payah :
Disaat kami turun, saya, Rachmat, dan Andra bertugas menjadi sweeper. Kebetulan Rachmat membawa satu trashbag penuh berisi sampah yang dipacking sangat ringkas dan ditalikan ke backpacknya. Karena posisi kami sebagai sweeper, otomatis kami lebih santai dibanding teman - teman yang lain karena kami yang harus memastikan bahwa tidak ada satupun yang tercecer. Seperdelapan perjalanan pun kami lalui dengan lancar seperti turun pada pendakian biasanya. Namun, Setelah masuk ke trek iblis, ritme perjalanan semakin menurun. Saya dan Rachmat pun berniat menunggu sebentar karena kami tidak suka turun pelan yang notabene akan merasakan rasanya menahan badan dalam waktu yang lebih lama. Kami lebih suka lari sambil meloncat karena beban yang kami tahan lebih tidak terasa. Sementara Andra ikut turun menuntun teman - teman yang lainnya. Namun, sialnya, ketika kawan - kawan sudah jauh didepan, trashbag sampah yang dibawa Rachmat bocor. Kami berdua pun harus berhenti sejenak memikirkan bagaimana membawa sampah - sampah ini turun. Tak ada satupun dari kami yang membawa trashbag cadangan. Awalnya saya berniat untuk turun dan menanyakan ke yang lainnya apakah masih ada trashbag. Namun, solusi tersebut sepertinya akan memakan lebih banyak waktu. Sampah yang ada di dalam trashbag tersebut masih belum kompak. Sampah bungkus plastik dan botol air mineral yang masih berisi tercampur didalamnya. Akhirnya saya mengambil kresek apapun ukurannya dari dalam backpack saya. Walaupun hanya ada dua kresek ukuran kecil, kami coba memasukan sampah - sampah itu ke wadah kresek kecil tersebut. Dengan mendahulukan sampah bungkus plastik, ternyata cukup. Sekarang tinggal bagaimana membawa botol - botol air mineral tadi. Kebetulan, kami Naval Architecture memiliki cirikhas, yaitu tiap anak dari kami menggunakan gelang tali kur berwarna biru. Bukan bermaksud melecehkan esensinya, akhirnya saya lepas kepangan tali kur yang menempel di tangan kanan saya dan menalikannya ke botol - botol yang tersisa. Inilah ternyata kegunaan lain dari tali kur tersebut, seperti menggantikan fungsi dari webbing saja. Akhirnya kami berdua pun turun dengan cukup tergesa - gesa. Bahkan saking tergesa - gesanya kami berdua sempat salah jalan beberapa kali. Ternyata yang namanya mempertahankan ego ujung - ujungnya sial juga. Begitu sudah sampai di daerah perkebunan, masalah kami berduapun bertambah. Kaki saya keseleo. Awalnya rasanya sakit sekali seperti engkel rasanya. Saya hanya bisa meneruskan dua langkah kedepan dengan menyeret kaki saya dan memanggil si Rachmat yang sudah beberapa kaki di depan. Kami pun berhenti dan kaki saya relakskan terlebih dahulu dan sedikit dipijat - pijat oleh si Rachmat. Dengan tekad yang membara kami pun meneruskan perjalanan. Sesampainya di sungai kecil sebelum basecamp kami pun bertemu dengan teman - teman yang lainnya. Selesailah perjuangan kami berdua untuk turun.
(Trio Sweeper:(kiri) Andra, Saya, Rachmat)